Gunung Roraima terletak di perbatasan tiga negara: Venezuela (Taman Nasional Canaima), Guyana, dan Brasil. Titik awal pendakian paling umum berada di desa Paratepui, Negara Bagian Bolívar, Venezuela. Untuk mencapai lokasi ini, kamu bisa terbang ke kota Santa Elena de Uairén, lalu melanjutkan perjalanan darat ke Paratepui.
Mimpi Lama yang Akhirnya Terwujud
Aku nggak bisa bohong Travel Gunung Roraima itu seperti tempat dari dunia lain. Sejak nonton dokumenter tentang “Lost Worlds” waktu kecil, aku udah kepincut sama dataran tinggi berbentuk meja (tepui) ini. Setelah bertahun-tahun cuma bisa lihat dari layar, akhirnya aku nekat buat menyusun rencana ke sana. Awalnya sempat ragu juga, soalnya lokasinya lumayan terpencil dan butuh fisik yang kuat. Tapi rasa penasaran dan impian lama bikin aku nggak mundur. Dan bener aja, semuanya worth it.
Apa yang Membuat Gunung Roraima Begitu Spesial?
Gunung ini bukan cuma cantik, tapi juga unik secara geologis. Usianya diperkirakan lebih dari 2 miliar tahun, menjadikannya salah satu formasi batuan tertua di dunia. Puncaknya berupa dataran luas yang dipenuhi batu-batu hitam besar, kolam alami, serta tumbuhan endemik yang cuma ada di sana. Bahkan, saking misteriusnya, Gunung Roraima menginspirasi novel The Lost World karya Sir Arthur Conan Doyle.
Selain itu, suasana di puncaknya sering diselimuti kabut, bikin suasananya mistis abis. Banyak juga yang bilang, ini salah satu tempat paling spiritual di Amerika Selatan. Setelah merasakannya langsung, aku bisa ngerti kenapa.
Persiapan Fisik dan Mental: Nggak Main-main!
Jujur ya, pendakian ke Roraima ini bukan untuk semua orang. Meskipun jalurnya nggak seberat gunung teknikal macam Himalaya, tapi tetap menantang. Trekking dari Paratepui ke basecamp aja butuh waktu 2 hari, dan itu jalan terus di bawah terik matahari dan hujan hutan tropis.
Makanya, sebelum berangkat, aku latihan jalan kaki tiap hari minimal 5 km, dan naik turun tangga biar betis nggak kaget. Selain itu, aku juga belajar basic survival kayak memasang tenda, manajemen logistik, dan cara menghadapi cuaca ekstrem. Dan percayalah, semua latihan itu berguna banget di lapangan.
Perjalanan Menuju Paratepui: Ujian Sabar Dimulai
Perjalanan ke Gunung Roraima udah bikin aku merasa seperti sedang syuting film petualangan. Dari Jakarta, aku harus terbang ke Caracas (Venezuela) lewat rute panjang via Eropa. Setelah itu, lanjut ke Santa Elena de Uairén, kota kecil yang jadi titik transit sebelum ke desa Paratepui.
Di sinilah mulai terasa tantangannya. Jalanan ke Paratepui penuh lubang, sinyal hilang-timbul, dan nggak ada toko modern sama sekali. Tapi justru di situ serunya—aku jadi merasa lepas dari hiruk-pikuk dunia modern.
Hari Pertama Trekking: Hujan, Lumpur, dan Senyum
Waktu kaki pertama kali menginjak tanah trek Paratepui, aku langsung disambut matahari terik. Tapi jangan senang dulu, sejam kemudian hujan deras turun tanpa ampun. Sepatu penuh lumpur, baju basah kuyup, dan jalanan jadi licin banget.
Untungnya, aku bawa ponco dan pelindung tas. Teman seperjalanan juga saling bantu, jadi suasananya tetap hangat meski udara dingin. Kami tidur di tenda pinggir sungai, dengan suara jangkrik dan aliran air yang bikin tenang banget. Malam pertama di alam liar Amerika Selatan ini bikin aku terharu—aku bener-bener hidup dalam mimpi.
Basecamp dan Hari Paling Menegangkan
Setelah dua hari jalan kaki, akhirnya kami sampai di basecamp Gunung Roraima. Udara makin dingin, kabut makin tebal, dan suara burung eksotis makin sering terdengar. Tapi, malam itu aku susah tidur karena tahu besok kami akan mendaki tebing vertikal menuju puncak.
Buat naik ke puncaknya, kami harus lewat jalur bernama “La Rampa”—jalur curam di sisi tebing yang dihujani air terjun kecil. Aku sempat gemetar lihat tebingnya. Tapi pemandu bilang, “Tenang aja, semua orang takut waktu pertama.” Dan benar, begitu mulai naik, fokus dan adrenalin langsung ambil alih.
Tiba di Puncak: Dunia Lain yang Bikin Terdiam
Begitu sampai di atas, aku cuma bisa berdiri diam. Rasa lelah langsung hilang. Pemandangan di puncak Gunung Roraima bener-bener tak terlukiskan. Bebatuan besar dengan bentuk aneh, kolam berwarna hijau toska, kabut tipis menyelimuti, dan tumbuhan aneh yang cuma ada di sana.
Jujur, aku sempat mikir, “Ini beneran dunia nyata atau aku lagi mimpi?” Di momen itu, aku sadar: perjuangan yang susah payah itu ada gunanya. Gunung Roraima mengajarkan aku untuk sabar, tangguh, dan menikmati proses.
Tips Praktis Buat yang Mau ke Gunung Roraima
Nah, kalau kamu juga kepikiran mau ke sini, ini beberapa tips yang bisa menyelamatkan perjalananmu:
Gunakan jasa tur lokal yang berpengalaman. Aku pakai jasa pemandu dari Santa Elena, mereka ngerti jalur dan budaya setempat.
Bawa sepatu gunung tahan air. Jalurnya licin dan sering hujan, jadi ini penting banget.
Latih fisik minimal 1 bulan sebelumnya. Jalan cepat, naik tangga, dan latihan beban ringan bisa bantu banget.
Siapkan jas hujan, dry bag, dan sleeping bag tahan dingin.
Belajar sedikit bahasa Spanyol. Banyak penduduk lokal nggak bisa bahasa Inggris.
Bawa makanan ringan tinggi kalori. Contohnya energy bar, cokelat, kacang-kacangan.
Makanan di Tengah Hutan? Lebih Enak dari yang Dibayangkan
Salah satu kejutan terbesar di perjalanan ini adalah makanan yang disiapkan tim porter. Serius, aku nggak nyangka bisa makan sup hangat, nasi goreng, sampai buah segar di tengah hutan belantara. Mereka bahkan bikin teh herbal tiap pagi, bikin badan terasa hangat dan segar.
Aku juga belajar satu hal penting: makan yang cukup itu bukan cuma soal energi, tapi soal menjaga semangat. Jangan sampai kelaparan pas trekking, nanti malah nggak bisa nikmatin perjalanannya.
Momen Frustasi: Saat Lutut Mulai Protes
Di hari keempat, lututku mulai terasa nyeri. Turunan dan bebatuan bikin tekanan ekstra. Aku sempat kepikiran buat nyerah, atau minta ditandu turun. Tapi teman seperjalanan dan pemandu kasih semangat terus. Mereka bilang, “Pelan aja, yang penting terus jalan.” Dan bener, setelah jalan pelan-pelan sambil pakai tongkat hiking, rasa nyeri bisa dikendalikan.
Dari situ aku sadar, kekuatan mental itu separuh dari perjalanan. Kadang tubuh kita bisa, cuma pikiran yang duluan menyerah.
Kembali ke Peradaban: Campur Aduk Rasanya
Turun dari Gunung Roraima itu bittersweet banget. Di satu sisi, aku senang bisa kembali mandi air hangat dan makan makanan kota. Tapi di sisi lain, aku kangen udara bersih dan suasana hening di atas sana. Rasanya kayak baru pulang dari planet lain.
Aku juga bawa pulang pelajaran penting: hidup itu bukan cuma soal tujuan, tapi perjalanan dan orang-orang yang kamu temui di jalan. Gunung Roraima udah ngasih aku pengalaman yang nggak akan pernah aku lupa seumur hidup.
Kenapa Kamu Harus Menambahkan Roraima di Bucket List
Kalau kamu suka petualangan, suka alam, dan siap keluar dari zona nyaman, Gunung Roraima wajib masuk daftar destinasi impianmu. Tempat ini bukan sekadar gunung, tapi semacam portal ke dunia lain—baik secara visual maupun spiritual.
Memang, butuh usaha lebih buat sampai ke sana. Tapi semua rasa lelah, takut, dan frustasi akan tergantikan dengan kekaguman, rasa syukur, dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Baca Juga Artikel Berikut: Machu Picchu: Keindahan Abadi Warisan Dunia yang Menyentuh Hati