Gue masih inget banget waktu pertama kali nonton Reog Ponorogo secara langsung. Bukan lewat TV atau YouTube, tapi beneran live di alun-alun kota waktu liburan bareng keluarga. Musik gamelannya keras banget, topeng Singo Barong yang gede itu beneran bikin bulu kuduk berdiri. Gila, itu berat banget lho—konon katanya bisa lebih dari 30 kg dan ditopang sama gigi si penari.
Yang bikin makin dapet feel-nya adalah ekspresi para penari. Mereka nggak cuma joget asal-asalan. Ada cerita yang disampaikan, walaupun gue waktu itu nggak langsung paham. Tapi tetap, energinya berasa. Lo pernah nonton pertunjukan yang bikin lo lupa main HP? Nah, ini salah satunya.
Dan sejak hari itu, gue mulai kepo sama apa itu Reog Ponorogo sebenarnya. Dari sekadar hiburan jalanan jadi rasa penasaran yang akhirnya bikin gue ngulik lebih dalam.
Sejarah Tari Reog Ponorogo — Lebih Dari Sekadar Tontonan
Banyak orang cuma liat Culture Reog itu sebatas pertunjukan heboh buat acara budaya. Tapi kalau lo gali, ternyata sejarahnya dalam banget, bro.
Jadi Reog itu lahir dari daerah Ponorogo, Jawa Timur. Dulu, ini bukan sekadar hiburan, tapi bentuk perlawanan terhadap kekuasaan. Ceritanya nyambung ke masa Kerajaan Kediri dan kisah Raja Klono Sewandono yang jatuh cinta sama Putri Kediri. Tapi si Raja ditolak karena penampilannya dianggap aneh dan punya pasukan yang juga nyeleneh. Nah, lewat kisah inilah, para seniman Reog ngemas cerita sindiran ke dalam tarian dan topeng.
Gue suka banget sama ide ini. Bahwa kesenian bisa jadi bentuk kritik, bukan cuma tontonan. Dan ini yang bikin Reog punya makna lebih dari sekadar “orang angkat topeng singa”.
Uniknya, ada banyak versi cerita Reog Ponorogo. Ada juga yang bilang tarian ini dipengaruhi unsur spiritual dan mistik. Bahkan sampai sekarang, latihan Reog masih sering diawali dengan doa atau ritual tertentu, apalagi buat para Warok—penari utama yang punya aura dan energi kuat.
Keindahan dan Filosofi di Balik Setiap Gerakan Reog Ponorogo
Kadang kita terlalu fokus ke topeng raksasa atau dadak merak, sampai lupa kalo setiap elemen Reog Ponorogo punya makna.
Gue pernah ngobrol sama pelatih Reog Ponorogo di kampung, katanya setiap gerakan Reog punya filosofi hidup. Contohnya:
Gerakan Klono Sewandono mencerminkan semangat, keberanian, dan keteguhan hati.
Jathil yang biasanya diperankan oleh penari wanita atau pria berbusana perempuan, punya makna kelincahan dan pengabdian.
Warok, si pria sakti itu, melambangkan kebijaksanaan dan kekuatan spiritual.
Dan yang paling iconic, tentu aja Singo Barong. Bukan cuma sekadar topeng singa dengan bulu merak, tapi simbol dari nafsu dan ego manusia yang harus dikendalikan. Bulu merak di atasnya? Lambang dari kemewahan dunia.
Makanya, waktu nonton Reog Ponorogo , gue belajar bahwa seni itu bukan cuma soal indah atau tidak, tapi soal pesan apa yang mau disampaikan.
Kenapa Kita Harus Mencintai Budaya Indonesia Lewat Reog Ponorogo
Gue jujur agak sedih waktu tau kalau banyak anak muda sekarang malah lebih ngefans sama budaya K-Pop, anime, atau street dance luar negeri. Bukan berarti itu salah ya—gue juga suka beberapa. Tapi kalo budaya sendiri aja nggak kita rawat, siapa lagi?
Reog Ponorogo Ponorogo tuh beneran warisan berharga. Bahkan UNESCO pernah hampir mengakui Reog sebagai warisan dunia. Tapi pernah juga ribut-ribut karena negara lain ngaku-ngaku. Nah lho. Kalau bukan kita yang bangga dan jaga, bisa-bisa beneran dicaplok.
Gue pernah ngajak anak-anak buat nonton Reog Ponorogo dan mereka awalnya ngerasa “Ah, jadul banget.” Tapi setelah nonton langsung? Mereka terkesima. Malah nyari-nyari di YouTube setelah itu.
Makanya, salah satu cara kita bisa bantu ya dengan mencintai, mengenalkan, dan melestarikan Reog ini ke generasi muda. Bikin konten, share di sosmed, ajak nonton live, bahkan kalo bisa ikut latihan!
Tips Supaya Budaya Seperti Reog Nggak Hilang Ditelan Zaman
Buat lo yang juga peduli budaya, ini beberapa cara simpel tapi powerful:
Follow akun komunitas Reog di Instagram atau TikTok. Banyak yang share info pentas atau edukasi ringan.
Datang ke event budaya lokal. Biasanya gratis dan lo bisa dapet insight langsung.
Ajarkan ke anak-anak atau keponakan. Ceritakan kisahnya, biar nggak cuma hafal superhero doang.
Bikin konten budaya. Nggak perlu ribet, bisa review pertunjukan Reog, atau jelasin sejarah singkatnya.
Support UMKM lokal. Banyak pengrajin topeng Reog dan kostum tradisional yang butuh dukungan kita.
Kalau semua orang punya andil meski kecil, maka Reog Ponorogo dan budaya lain bakal terus hidup.
Reog dan Dampaknya Bagi Komunitas Lokal
Gue pernah ke Ponorogo pas acara Festival Nasional Reog Ponorogo, dan yang paling kerasa bukan cuma suasana budayanya, tapi antusiasme warga lokal. Mulai dari anak kecil sampai kakek-nenek, semua terlibat. Ada yang jualan makanan, ada yang sewain baju Reog Ponorogo buat foto-foto, bahkan pengrajin topeng dan penjahit kostum bisa dapet pesanan berbulan-bulan sebelumnya.
Waktu itu gue sempet ngobrol sama Pak Darto, salah satu pengrajin dadak merak di desa Jetis. Dia bilang, “Dulu Reog itu dianggap kampungan, tapi sekarang orang kota nyari topeng buatan sini buat dekorasi rumah. Harga bisa sampe jutaan.” Dan dia cerita juga, pendapatannya naik gara-gara sering dapet pesanan dari event atau komunitas Reog luar kota.
Gue kaget sih. Ternyata pelestarian budaya itu gak cuma soal jaga identitas, tapi juga soal sumber ekonomi buat banyak orang. Bayangin kalo setiap kota punya event Reog Ponorogo rutin, berapa banyak orang bisa kebantu?
Jadi buat lo yang mikir “ngapain sih urusin budaya?”, jawabannya simpel: karena budaya hidup = ekonomi lokal juga hidup.
Tantangan Pelestarian Reog di Era Digital
Jujur, meskipun banyak komunitas Reog Ponorogo makin aktif, masih ada tantangan besar di era sekarang. Salah satunya ya… perhatian generasi muda. Lo tau sendiri, sekarang lebih banyak yang fokus ke TikTok dance challenge atau game online ketimbang belajar budaya tradisional.
Gue nggak anti kemajuan teknologi, ya. Tapi kadang suka miris aja. Ada komunitas Reog yang semangat bikin konten YouTube, tapi views-nya dikit banget. Sementara video prank atau konten viral absurd bisa jutaan views dalam sehari. Itu tuh bikin semangat mereka kadang turun.
Dan satu lagi: kurangnya regenerasi pemain Reog. Banyak Warok atau penari Reog yang udah tua, tapi belum nemu penerus yang niat. Alasannya klasik—gak keren, gak laku, atau gak “zaman now”. Padahal, justru budaya kayak gini yang perlu kita upgrade dan tampilkan dengan cara kekinian.
Makanya gue selalu bilang: Reog itu bisa banget di-mix sama dunia digital. Entah itu lewat short video, dokumenter, vlog latihan, behind the scene kostum, sampai kolaborasi sama seniman modern. Bayangin aja, gimana kalau Reog tampil di acara besar atau collab sama musisi terkenal? Bisa banget viral tuh.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Pacu Jalur indonesia: Ikon Budaya Riau yang Sarat Nilai Kebersamaan 2024 disini