Kekerasan Berbasis Gender Online, selama kita nggak nyari masalah, internet itu tempat yang aman. Ternyata… nggak sesederhana itu. Yang gue alami waktu itu bukan cuma gangguan biasa. Bukan sekadar komentar jahat atau spam.
Ini lebih dalam. Lebih personal. Kekerasan Berbasis Gender Online, atau KBGO — baru belakangan gue tahu istilahnya. Tapi saat mengalaminya pertama kali, rasanya cuma satu: teror yang nggak kelihatan tapi nyata.
Gue cuma upload foto biasa. Nggak vulgar. Nggak ada yang aneh. Tapi entah kenapa, masuklah DM aneh. Mulai dari emoji mata nakal, sampai yang ngajak video call “privat.” Gue cuekin. Tapi makin dicuekin, makin gila. Screenshot gue dikirim ke grup tanpa izin. Beberapa akun fake mulai muncul bawa-bawa nama gue. Dan satu malam, gue dikirimin email dengan isi… foto pribadi gue, dari waktu yang gue sendiri nggak ingat kapan gue posting.
Saat Dunia Maya Jadi Medan Perang yang Tak Terlihat Kekerasan Berbasis Gender Online
Kapan Internet Berubah Jadi Ruang Kekerasan?
Waktu itu, gue ngerasa sendirian banget. Orang sekitar bilang, “Ya udah dihapus aja fotonya.” Atau, “Namanya juga cewek, pasti ada aja yang gitu.” Astaga, serius deh, kalimat kayak gitu tuh makin nyakitin dibanding komentar jahat di DM.
Gue mulai baca-baca, dan nemu laporan dari SAFEnet dan Komnas Perempuan. Ternyata, Kekerasan Berbasis Gender Online tuh beneran nyata dan makin meningkat tiap tahun. Data 2023 aja nunjukin ratusan kasus dilaporkan, dan itu baru yang berani speak up.
Jenis-jenisnya juga macam-macam:
Doxxing (nyebarin data pribadi)
Non-consensual image sharing
Cyberstalking
Ancaman seksual di DM
Pelecehan berbasis orientasi seksual
Dan kebanyakan korban? Perempuan. Terutama yang aktif di media sosial, punya opini, atau sekadar tampil percaya diri. Dunia digital nggak suka perempuan yang kelihatan punya kendali atas dirinya. Miris banget, ya.
Momen Frustasi yang Gak Bisa Gue Lupakan
Waktu akun fake itu nyebarin narasi palsu soal gue, yang gue pikirin bukan “apa kata netizen.” Tapi orang tua gue. Temen kantor. Bos gue. Dunia nyata itu kan nyambung banget sama digital.
Gue sempet kepikiran buat nutup semua akun. Hilang dari internet. Tapi… kok gue yang harus ngilang, bukan pelakunya?
Malam-malam gue nangis. Bukan karena takut, tapi karena bingung. Kenapa ya, kok nggak ada yang bisa bantu? Polisi? Katanya harus bukti jelas. Tapi screenshot-screenshot itu katanya belum cukup. Aduh, emang harus tunggu gue diperas dulu baru dianggap?
Pelajaran Terbesar: Jangan Diam, Jangan Takut
Akhirnya, setelah beberapa minggu mikir, gue ambil langkah kecil: gue kontak SAFEnet. Mereka bantu banget, dari validasi sampai kasih tips pengamanan digital. Mereka nggak nge-judge. Malah dengerin.
Dari situ, gue sadar:
Korban Kekerasan Berbasis Gender Online tuh bukan lemah. Justru kita kuat karena masih bisa berdiri setelah trauma yang nggak kelihatan.
Kita harus ngerti keamanan digital. Kalau gak, kita kayak telanjang di tengah keramaian internet.
Punya support system itu penting. Entah teman, komunitas, atau organisasi bantuan.
Dan yang paling penting: suarakan pengalaman lo. Bukan buat viral, tapi buat bantu orang lain ngerasa gak sendirian.
Tips Keamanan Digital yang Gue Pelajari (the hard way)
Kalau lo aktif di dunia maya, apalagi suka posting atau kerja sebagai content creator, ini beberapa langkah preventif yang bisa banget lo terapin:
1. Aktifkan 2FA (Two Factor Authentication) di Semua Akun
Jangan cuma andelin password. Aktifin fitur keamanan tambahan pakai email atau nomor. Ini barikade pertama lo.
2. Kurangi Metadata di Foto
Ternyata, banyak foto yang secara nggak sadar nyimpan lokasi, waktu, dan info pribadi. Gunakan aplikasi edit buat bersihin metadata sebelum upload.
3. Pisahkan Identitas Personal dan Profesional
Kalau lo punya pekerjaan yang terekspos publik, pisahin akun pribadi dan kerjaan. Bahkan kalau bisa, pakai identitas terpisah untuk registrasi domain, email, dll.
4. Waspadai Phishing dan Link Aneh
Jangan asal klik link. Gue pernah hampir kena jebakan akun palsu yang nyamar jadi “tim Instagram.”
5. Laporkan dan Blokir, Tapi Juga Dokumentasikan
Screenshot semua ancaman, save bukti, dan kirim ke organisasi seperti SAFEnet, LBH APIK, atau Komnas Perempuan. Jangan delete, karena bukti itu penting banget.
Dikutip dari laman resmi Siberkreasi
Realita: Banyak Korban Masih Takut Speak Up
Gue paham banget kenapa banyak korban milih diam. Takut dikatain “lebay”, atau malah disalahin. Tapi kita gak bisa terus kayak gitu.
Kekerasan Berbasis Gender Online itu sistemik. Ini bukan cuma tentang satu-dua orang iseng. Tapi soal budaya yang normalisasi pelecehan. Dianggap “lucu” kalau cewek dijadiin bahan lelucon. Atau dikira “pansos” kalau ngelapor.
Dan lo tau nggak? Banyak banget korban Kekerasan Berbasis Gender Online yang sampe trauma berat. Ada yang drop out, pindah kota, bahkan percobaan bunuh diri. Karena tekanan sosial itu nyakitin banget. Dan sayangnya, sistem hukum kita belum sepenuhnya siap menangani itu.
Apa yang Bisa Kita Lakuin? (Kalau Lo Bukan Korban, Tapi Peduli)
Lo bisa bantu banyak, lho. Bahkan hal kecil pun berarti banget buat korban Kekerasan Berbasis Gender Online.
Dengerin, bukan ngehakimi.
Edukasi orang sekitar soal Kekerasan Berbasis Gender Online.
Laporkan akun pelaku di platform sosial.
Share info soal keamanan digital.
Dukung undang-undang dan gerakan perlindungan digital.
Ingat, internet itu ruang publik. Tapi publik yang sehat adalah publik yang punya rasa hormat dan batas.
Penutup: Suara Kita Gak Boleh Diam Lagi
Setelah semua drama digital itu, gue ngerasa lebih kuat. Bukan karena udah “move on”, tapi karena gue gak diem lagi. Dan percaya, ketika satu orang berani speak up, banyak orang lain yang ikut ngerasa lebih aman.
Kekerasan Berbasis Gender Online bukan hal kecil. Tapi dengan edukasi, solidaritas, dan keberanian, kita bisa bikin ruang digital lebih aman buat semua gender.
Kalau lo lagi ngalamin ini, atau pernah, peluk dari jauh. Lo gak sendirian. Dan lo gak salah.
Baca Juga Artikel dari: Terjebak Longsor Jawa Timur: Pengalaman Tak Terlupakan
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: News